Beranda | Artikel
Hukum-hukum Adzan dan Iqamah
Sabtu, 28 Mei 2011

HUKUM-HUKUM ADZAN DAN IQAMAH

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Hukum dan Disyariatkan Adzan
Disyariatkan adzan dan iqamah ini berdasarkan nash syariat, di antaranya kisah Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khaththab, sebagaimana tersebut dalam hadits Abdullah bin Zaid yang telah kami jelaskan di depan, dan merupakan ijma’ untuk shalat lima waktu.

Imam An Nawawi mengatakan: “Adzan dan iqamah disyariatkan berdasarkan nash-nash syariat dan Ijma’. Dan tidak disyariatkan (adzan dan iqamah ini) pada selain shalat lima waktu, tidak ada perselisihan (dalam masalah ini)”[1]

Awal disyariatkannya terjadi pada tahun pertama hijriyah. Tersebut di dalam hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلاةَ لَيْسَ يُنَادَى لَهَا فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِي ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ بُوقًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ فَقَالَ عُمَرُ أَوَلاَ تَبْعَثُونَ رَجُلاً يُنَادِي بِالصَّلاَةِ فَقَالَ رَسُولُ الهِ صلى الله عليه وسلم يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ

Kaum muslimin, dahulu ketika datang ke Madinah berkumpul, lalu memperkirakan waktu shalat, tanpa ada yang menyerunya. (Hingga) pada suatu hari, mereka berbincang-bincang tentang hal itu. Sebagian mereka berkata “gunakan saja lonceng seperti lonceng Nashara”. Dan sebagian menyatakan “gunakan saja terompet seperti terompet Yahudi”. Maka Umar berkata: “Tidakkah kalian mengangkat seseorang untuk menyeru shalat?” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Wahai, Bilal. Bangun dan serulah untuk shalat.”[2]

Imam Asy Syaukani menyatakan, inilah yang paling shahih dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam penentuan awal waktu disyariatkan adzan[3]. Hal ini juga yang dirajihkan Imam Ibnu Hajar.[4]

Adapun hukumnya, para ulama berselisih dalam beberapa pendapat. Yang mendekati kebenaran dari pendapat-pendapat tersebut, ialah pendapat yang mewajibkannya, berdasarkan hadits Malik bin Al Huwairits :

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الهُ صلى الله عليه وسلم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِي فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا رَأَى شَوْقَنَا إِلَى أَهَالِينَا قَالَ ارْجِعُوا فَكُونُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَصَلُّوا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ رواه البخاري

Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama beberapa orang dari kaumku, kemudian kami tinggal di sisinya selama 20 hari. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang yang dermawan dan sangat lemah lembut. Ketika Beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga, maka Beliau berkata : “Pulanglah kalian dan tinggallah bersama mereka, dan ajarilah mereka (agama Islam) serta shalatlah kalian. Apabila datang waktu shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian beradzan. Dan orang yang paling dituakan mengimami shalat kalian”.[5]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِي قَرْيَةٍ لاَ يُؤَذَّنُ وَلاَ تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلاَةُ إِلاَّ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ رواه أحمد

Tidak ada tiga orang di satu desa yang tidak ada adzan dan tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali setan akan memangsa mereka.[6]

Demikian pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu Al Utsaimin[7] dan Syaikh Al Albani.

Syaikh Al Albani mengatakan : “Sungguh, pendapat yang menyatakan adzan hanyalah Sunnah jelas merupakan kesalahan. Bagaimana bisa, padahal ia termasuk syi’ar Islam terbesar, yang jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengarnya di negeri suatu kaum yang akan Beliau perangi, maka Beliau akan memerangi mereka. Jika mendengar adzan pada mereka, Beliau menahan diri, sebagaimana telah diriwayatkan dalam Shahihain dan selainnya. Dan perintah adzan sudah ada dalam hadits shahih lainnya. Padahal hukum wajib dapat ditetapkan dengan dalil yang lebih rendah dari ini. Maka yang benar, adzan adalah fardhu kifayah, sebagaimana dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa (1/67-68 dan 4/20). Bahkan juga bagi seseorang yang shalat sendirian”.[8]

Bahkan Syaikhul Islam menegaskan hukum ini dengan pernyataannya : “Yang benar, adzan itu fardhu kifayah”.[9]

Ibnu Hazm mengomentari permasalahan ini dengan pernyataannya : “Kami tidak mengetahui orang yang menyatakan tidak wajibnya adzan dan iqamah (ini) memiliki hujjah. Seandainya Rasulullah tidak menghalalkan darah dan harta suatu kaum yang Beliau tengarai dengan tidak adanya adzan pada mereka, tentulah cukup untuk mewajibkannya”.[10]

Hukum-Hukum Seputar Adzan
Ada beberapa permasalahan seputar adzan yang cukup penting diketahui, di antaranya:

1. Disunnahkan beradzan dalam keadaan berdiri.
Ibnu Al Mundzir berkata: “Para ulama yang saya hafal, (mereka) sepakat, bahwa sunnah beradzan dengan berdiri” [11]. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Bilal dalam hadits Abu Qatadah:

إِنَّ الهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلاَلُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاَةِ

Sesungguhnya Allah mencabut ruh-ruh kalian kapan (Dia) suka, dan mengembalikannya kapan (Dia) suka. Wahai, Bilal! Bangun dan beradzanlah untuk shalat. [HR Al Bukhari].

Juga disunnahkan menghadap kiblat[12]. Syaikh Al Albani menyatakan: “Telah shahih dalil menghadap kiblat dalam adzan dari malaikat, sebagaimana yang dilihat Abdullah bin Zaid Al Anshari dalam mimpinya”.[13]

2. Disunnahkan beradzan di tempat yang tinggi, agar lebih keras terdengar dalam menyampaikan adzan[14]. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits seorang wanita dari Bani Najjar yang menyatakan:

كَانَ بَيْتِي مِنْ أَطْوَلِ بَيْتٍ حَوْلَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ بِلاَلٌ يُؤَذِّنُ عَلَيْهِ الْفَجْرَ

Rumahku, dahulu termasuk rumah yang tertinggi di sekitar masjid (nabawi), dan Bilal, dulu beradzan fajar di atas rumah tersebut. [HR Abu Dawud dan dihasankan Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil, hadits no. 229, hlm. 1/246].

3. Muadzin disunnahkan memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri pada hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain), berdasarkan hadits Abu Juhaifah yang berbunyi:

أَنَّهُ رَأَى بِلَالاً يُؤَذِّنُ فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَهُنَا وَهَهُنَا بِاْلأَذَانِ

Sesungguhnya Beliau melihat Bilal beradzan, lalu aku melihat mulutnya disana dan disini mengucapkan adzan. [HR Al Bukhari].

Dan dalam riwayat Muslim dengan lafadz:

فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا يَقُولُ يَمِينًا وَشِمَالاً يَقُولُ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ

Lalu mulailah aku memperhatikan mulutnya diputar kesana dan kesini, yaitu ke kanan dan ke kiri mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, hayya ‘ala al falah.

Imam An Nawawi menjelaskan, disunnahkan memalingkan wajah dalam hai’alatain ke kanan dan ke kiri. Dalam tata cara memalingkan wajah, yang mustahab ada tiga cara, yaitu :

Pertama. Ini yang paling benar dan telah ditetapkan ahli Iraq dan sejumlah ahli Khurasan (dalam madzhab Syafi’i), bahwa memalingkan ke kanan dengan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, hayya ‘ala ash shalat, kemudian berpaling ke kiri dan mengucapkan hayya ‘ala al falah, hayya ‘ala al falah.

Kedua. Berpaling ke kanan dan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, kemudian kembali menghadap kiblat, kemudian berpaling ke kanan lagi dan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat. Kemudian berpaling ke kiri dan mengucapkan hayya ‘ala al falah, lalu kembali menghadap kiblat, kemudian berpaling ke kiri lagi dan mengucapkan hayya ‘ala al falah.

Ketiga. Pendapat Al Qafal, yaitu mengucapkan hayya ‘ala ash shalat satu kali berpaling kekanan, dan satu kali berpaling ke kiri; kemudian mengucapkan hayya ‘ala al falah satu kali berpaling ke kanan dan satu kali berpaling ke kiri.[15]

4. Disunahkan meletakkan kedua jemari di telinga, sebagaimana hadits Abu Juhaifah dengan lafadz:

رَأَيْتُ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ وَيُتْبِعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا وَإِصْبَعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ

Aku melihat Bilal beradzan dan memutar mulutnya ke sana dan ke sini serta kedua jarinya di telinganya. [HR Ahmad dan At Tirmidzi, dan At Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani menshahihkannya di dalam Irwa’ Al Ghalil, no. 230, hlm. 1/248].

Setelah menyampaikan hadits ini, Imam At Tirmidzi berkata: “Inilah yang diamalkan para ulama. Mereka mensunnahkan seorang muadzin memasukkan kedua jemarinya ke kedua telinganya dalam adzan. Dan sebagian ulama menyatakan juga, di dalam iqamat memasukkan kedua jemarinya ke kedua telinganya. Demikian ini pendapat Al ‘Auza’i”.[16]

5. Disunnahkan mengeraskan suara dalam adzan[17], berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Tidaklah mendengar suara muadzin bagi jin dan manusia serta (segala) sesuatu, kecuali memberikan kesaksian untuknya pada hari Kiamat. [HR Al Bukhari].

Hukum Mendengar dan Menjawab Adzan dan Iqamat
Para ulama terbagi dalam dua pendapat berbeda berkaitan dengan hukum mendengar dan menjawab adzan.

1. Hukumnya wajib.
Demikian ini pendapat madzhab Azh Zhahiriyah dan Ibnu Wahb. Dalil yang dibawakan ialah hadits Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Jika kalian mendengar adzan, maka jawablah seperti yang disampaikan muadzin”. [Muttafaqun ‘alaihi].[18]

Dalam hadits ini terdapat perintah menjawab adzan, dan perintah, pada asalnya menunjukkan wajib.

2. Hukumnya sunnah.
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama[19]. Mereka menyatakan, bahwa hadits Abu Sa’id di atas dipalingkan dari wajib menjadi sunnah dengan hadits ‘Aisyah yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ يَتَشَهَّدُ قَالَ وَأَنَا وَأَنَا

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika mendengar muadzin membaca syahadat, maka Beliau berkata “dan aku dan aku”. [HR Abu Dawud].

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawab adzan secara sempurna. Mereka juga berdalil dengan hadits Anas bin Malik :

كَانَ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم يُغِيرُ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ وَكَانَ يَسْتَمِعُ اْلأَذَانَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَإِلاَّ أَغَارَ فَسَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ الهُع أَكْبَرُ الهُ أَكْبَرُ فَقَالَ رَسُولُ الهِ صَلَّى الهُق عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْفِطْرَةِ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الهُل فَقَالَ رَسُولُ الهِ صَلَّى الهُّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجْتَ مِنْ النَّارِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerang (suatu kaum) ketika terbit fajar. Dan Beliau memperhatikan adzan. Apabila Beliau mendengar, maka Beliau menahan. Dan bila tidak (mendengar), maka Beliau menyerang. Lalu Rasulullah mendengar seseorang berkata: (الهُ أَكْبَرُ الهُ أَكْبَرُ ), maka Beliau menjawab: “Di atas fithrah” (عَلَى الْفِطْرَةِ ), kemudian ia (seseorang itu) mengatakan: (أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الهُا أَشْهَدُ ) dan Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Engkau telah keluar dari neraka”. [HR Muslim].

Dalam menjelaskan hadits ini, Ibnu Hajar menyatakan, ada sebagian riwayat berkaitan dengan hadits ini yang menunjukkakan, bahwa hal ini terjadi ketika waktu akan shalat[20]. Hal ini juga amalan kaum mualimin pada zaman Umar, sebagaimana disampaikan Tsa’labah bin Abi Malik :

كَانُوْا يَتَحَدَّثُوْنَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَ عُمَرُ جَالِسٌ عَلَى الْمِنْبَرِ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ قَامَ عُمَرُ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ

Mereka dahulu berbincang-bincang pada hari Jum’at dan Umar duduk di atas mimbar. Jika muadzin selesai adzan, maka Umar bangun dan tak seorangpun berbicara. [HR Asy Syafi’i dalam Al Um, dan dishahihkan An Nawawi, sebagaimana dijelaskan Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 339].

Riwayat ini juga dikuatkan dengan riwayat yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih, sebagai berikut:

أَدْرَكْتُ عُمَرَ وَ عُثْمَانَ فَكَانَ الإِمَامُ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ تَرَكْنَا الصَّلاَةَ فَإِذَا تَكَلَّمنَا تَرَكْنَا الْكَلاَمَ

Aku menjumpai Umar dan Utsman; jika seorang imam keluar (menuju masjid), maka kami meninggalkan shalat, dan bila berbicara (berkhutbah), maka kami meninggalkan perbincangan. [HR Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan Al Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 340].

Pendapat ini yang dirajihkan Syaikh Al Albani[21]  dan Syaikh Masyhur Salman.

Syaikh Al Albani mengatakan: Dalam atsar ini, terdapat dalil yang menunjukkan tidak wajibnya menjawab (seruan) muadzin, karena pada zaman Umar terjadi amalan berbincang-bincang ketika adzan, dan Umar diam. Saya banyak ditanya tentang dalil yang memalingkan perintah yang menunjukkan kewajiban menjawab adzan. Maka saya menjawab dengan atsar ini. Demikian juga iqamat, dalam hal ini sama hukumnya dengan adzan, sebagaimana dinyatakan Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta, dalam pernyataan mereka yang berbunyi “termasuk sunnah seorang yang mendengar iqamat menjawab seperti ucapan muqim (orang yang beriqamah); karena iqamat merupakan adzan kedua, sehingga dijawab seperti dijawabnya adzan[22]. Wallahu a’lam.

Menjawab Adzan dalam Keadaan Shalat
Berdasarkan hukum di atas, maka muncullah permasalahan lainnya, yaitu bagaimana hukum seseorang yang sedang shalat mendengar adzan, apakah perlu menjawab ataukah tidak? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat ulama:

1. Wajib menjawab adzan walaupun dalam shalat, kecuali ucapan hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain). Demikian pendapat madzhab Azh Zhahiriyah dan Ibnu Hazm.

Ibnu Hazm berkata: “Barangsiapa mendengar muadzin, maka jawablah sebagaimana yang diucapkan muadzin sama persis dari awal adzan sampai akhirnya. Baik ia berada di luar shalat atau di dalam shalat. Baik shalat wajib ataupun sunnah. Kecuali hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain), maka tidak diucapkan dalam shalat, dan diucapkan di luar shalat”.

Dalilnya ialah hadits Abdullah bin Amru dan Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Jika kalian mendengar adzan, maka jawablah seperti yang disampaikan muadzin. [Muttafaqun ‘alaihi].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm tidak mengkhusukan hal itu dalam shalat atau di luar. Sedangkan hai’latain merupakan ucapan manusia yang mengajak kepada shalat. Adzan seluruhnya adalah dzikir, dan shalat adalah tempat berdzikir”.[23]

2. Tidak menjawab adzan bila dalam keadaan shalat.
Demikian ini pendapat mayoritas ulama (jumhur), dengan berdalil hadits Abdullah bin Mas’ud yang berbunyi:

كُنَّا نُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ فَيَرُدُّ عَلَيْنَا فَلَمَّا رَجَعْنَا مِنْ عِنْدِ النَّجَاشِيِّ سَلَّمْنَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ فِي الصَّلاَةِ شُغْلاً

Kami, dahulu memberikan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadan Beliau shalat dan Beliau membalasnya. Ketika kami kembali dari negeri Najasi, kami memberi salam kepada Beliau dan (Beliau) tidak menjawab salam kami dan berkata: “Sesungguhnya dalam shalat adalah satu kesibukan”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Hadits ini, menurut jumhur menunjukkan makruhnya menjawab salam yang hukumnya wajib, lalu bagaimana dengan adzan yang hukum menjawabnya saja sunnah? Terlebih lagi dalam shalat, seseorang sedang sibuk bermunajah kepada Allah, sehingga menjawab adzan dapat merusak kekhususan tersebut.

3. Menjawab adzan pada shalat sunnah dan tidak menjawab dalam shalat fardhu.
Demikian salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah.

Adapun menurut penulis, dalam hal ini cenderung menguatkan pendapat jumhur, berdasarkan sunnahnya menjawab adzan yang telah dikemukan di atas. Wallahu a’lam.

Disyariatkan Membaca Shalawat dan Do’a Setelah Adzan
Sebagaimana telah diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amru yang berbunyi:

عَنْ عَبْدِ الله بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى الهُي عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا الهَو لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ الهِر وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ

Dari Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash, ia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kalian mendengar muadzin, maka jawablah seperti apa yang ia katakan, kemudian bershalawatlah untukku, karena barangsiapa yang bershalawat untukku, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintakanlah kepada Allah untukku al wasilah, karena ia adalah satu kedudukan di surga yang tidak sepatutnya, kecuali untuk seorang hamba Allah; dan aku berharap, (bahwa) akulah ia. Barangsiapa yang memohonkan untukku al wasilah, maka akan mendapat syafaatku. [HR Muslim].

Permohonan wasilah ini dicontohkan dalam hadits Jabir yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang ketika (selesai) mendengar adzan berkata:

اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ

Maka mendapatkan syafaatku pada hari kiamat. [HR Al Bukhari].

Demikianlah sebagian hukum-hukum seputar adzan dan iqamat, yang penulis sampaikan secara ringkas. Mudah-mudahan bermanfaat.

Maraji`:

  1. Ghauts Al Makdud Bi Takhrij Muntaqa Ibnu Al Jarud, Abu Ishaq Al Huwaini, Cetakan Kedua, Tahun 1414H, Dar Al Kitab Al Arabi.
  2. Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Tahqiq Dr. Sulaiman bin Abdillah Aba Khoil dan Dr. Kholid bin Ali Musyaiqih, Cetakan Pertama, Tahun 1415H, Muassasah Aasaam, KSA.
  3. Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab, Imam An Nawawi, Tahqiq Muhammad Najib Al Muthi’i, Cetakan tahun 1415H, Daar Ihya At Turats Al ‘Arabi, Beirut.
  4. Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Al Hafizh Ibnu Hajar, Maktabah As Salafiyah.
  5. Nail Al Authar Min Al Ahadits Sayyid Al Akhyar Syarhu Muntaqa Al Akhbar, Muhammad bin Ali Asy Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim, Cetakan Pertama, Tahun 1415H, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab, Imam An Nawawi, Tahqiq Muhammad Najib Al Muthi’i, Cetakan tahun 1415H, Dar Ihya` At Turats Al ‘Arabi, Beirut, 3/83.
[2] HR Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Adzan, Bab Bad’u Al Adzan, no. 604; Muslim, kitab Al Masajid, Bab Man Ahaqqu Bil Imamah, no. 674.
[3] Nail Al Authar Min Al Ahadits Sayyid Al Akhyar Syarhu Muntaqa Al Akhbar, Muhammad bin Ali Asy Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim, Cetakan Pertama, Tahun 1415H, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, hlm. 2/32.
[4] Lihat Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Op.Cit., hlm. 2/78.
[5] HR Al Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab Al Adzan
[6] Ahmad, no. 20719.
[7] Syarhu Al Mumti’, Op.Cit., hlm. 2/37.
[8] Tamamul Minnah Fi Ta’liq ‘Ala Fiqhi As Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cetakan Ketiga, Tahun 1409 H, Dar Rayah, Riyadh, KSA, hlm. 144.
[9] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Tahqiq Abdurrahman bin Muhammad bin Al Qasim, tanpa tahun cetakan dan penerbit, hlm. 22/64.
[10] Al Muhalla, Ibnu Hazm, Tahqiq Ahmad Syakir, Maktabah Dar At Turats, Kairo, hlm. 3/125.
[11] Dinukil Ibnu Qudamah dalam Al Mughni, Op.Cit., 2/82.
[12] Lihat Al Majmu’, Op.Cit., 3/114.
[13] Irwa’ Al Ghalil, Op.Cit., 1/250 dan lihat haditsnya pada hadits no. 246 di dalam Irwa’, 1/264-265.
[14] Al Mughni, Op.Cit., 2/83.
[15] Al Majmu’, Op.Cit., hlm. 3/115.
[16] Jami’ At Tirmidzi (Sunan At Tirmidzi), Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, 1/377.
[17] Al Mughni, Op.Cit., 2/72.
[18] Lihat Al Muhalla, Op.Cit., 3/148.
[19] Lihat Al Majmu’, Op.Cit., 3/127.
[20] Fathul Bari, Op.Cit., 2/93.
[21] Tamamul Minnah, Op.Cit., hlm. 340.
[22] Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta`, disusun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazaq Ad Duwais, Cetakan Pertama, Tahun 1416H, hlm. 6/89 dan 90.
[23] Lihat Al Muhalla, Op.Cit., hlm. 3/147


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3081-hukum-hukum-adzan-dan-iqamah.html